Jejak Syekh Bojo di Allakuang Sidrap: Ulama Perintis Islam dan Warisan Budaya

banner 468x60

Syekh Bojo, atau yang dikenal dengan nama Syekh Abdul Rahman, merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. Beliau diyakini berasal dari Yaman dan datang ke Nusantara untuk menyebarkan ajaran Islam. Kiprahnya di wilayah Allakuang, Sidrap, tidak hanya meninggalkan pengaruh keagamaan, tetapi juga warisan budaya yang masih hidup hingga saat ini. Kehadirannya menjadi bagian integral dari proses Islamisasi di kawasan Bugis yang berlangsung pada awal abad ke-17, seiring dengan masuknya pengaruh Islam dari Kerajaan Gowa-Tallo.

 

Salah satu bukti monumental dari peran Syekh Bojo adalah keterlibatannya dalam pembangunan Masjid Tua Jerrae, yang dikenal pula dengan sebutan Masjid Taqwa Jerrae. Masjid ini berdiri sekitar tahun 1607–1609 M dan menjadi salah satu pusat dakwah Islam di Sidrap. Syekh Bojo bersama Addatuang Sidenreng La Patiroi dan Nene’ Mallomo La Pagala, tokoh bijak yang sangat dihormati dalam tradisi Bugis, bahu-membahu mendirikan masjid tersebut. Perpaduan antara kekuatan spiritual, kepemimpinan politik, dan kebijaksanaan lokal menjadikan masjid ini sebagai simbol awal penerimaan Islam di Sidenreng.

 

Masjid Tua Jerrae tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pendidikan dan dakwah Islam. Dari sinilah nilai-nilai keislaman disebarkan kepada masyarakat sekitar, seiring dengan integrasi adat Bugis ke dalam praktik keagamaan. Masjid ini memperlihatkan bagaimana proses dakwah Islam tidak sekadar menyentuh aspek ritual, tetapi juga meresap ke dalam struktur sosial dan budaya masyarakat. Inilah yang menjadikan masjid tersebut sebagai ikon penyebaran Islam sekaligus simbol akulturasi budaya Bugis dengan nilai-nilai Islam.

 

Selain masjid, jejak Syekh Bojo juga dapat dilacak melalui makamnya yang terletak di dalam kompleks Masjid Tua Jerrae. Makam ini hingga kini tetap terawat, dipagari dengan besi dan dinaungi atap sederhana. Pada dinding makam tertulis nama “Syekh Bojo (Syekh Abdul Rahman)”, sebuah penanda penghormatan masyarakat setempat atas jasa dakwahnya. Makam tersebut menjadi tempat ziarah masyarakat, bukan hanya dari Sidrap, tetapi juga dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Kehadiran makam ini mencerminkan bagaimana seorang ulama tetap dihormati lintas generasi, meski berabad-abad telah berlalu.

 

Dalam tradisi masyarakat setempat, ziarah ke makam Syekh Bojo biasanya disertai dengan ritual simbolis, seperti menyiram air dari cerek ke atas pusara sebelum berdoa. Praktik ini dipahami bukan sebagai bentuk pemujaan, melainkan sebagai simbol kesucian dan doa kepada Allah dengan perantaraan niat baik. Keyakinan bahwa Syekh Bojo adalah wali yang berjasa dalam dakwah menjadikan makamnya sebagai titik penghubung spiritual bagi masyarakat Muslim Sidrap. Hal ini sekaligus memperlihatkan bagaimana Islam di Sulawesi Selatan sejak awal berkembang dengan nuansa sufistik yang dekat dengan tradisi ziarah wali.

 

Arsitektur Masjid Tua Jerrae juga memiliki nilai yang unik dan menarik. Masjid ini dibangun dengan atap bertingkat tiga, menyerupai model Masjid Agung Demak di Jawa. Tiang-tiang kayu besar menopang bangunan utama, salah satunya konon berasal dari pohon cabai yang tumbuh raksasa di wilayah tersebut. Kisah ini memperkaya narasi simbolis bahwa masjid berdiri bukan hanya karena kerja manusia, tetapi juga karena kehendak ilahi. Keunikan arsitektur ini menjadikan Masjid Tua Jerrae sebagai salah satu cagar budaya yang dilestarikan di Sulawesi Selatan.

 

Hingga kini, masjid dan makam Syekh Bojo tetap menjadi pusat aktivitas keagamaan masyarakat. Masjid masih digunakan untuk shalat berjamaah, termasuk shalat Jumat, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Fungsi masjid tidak berubah sejak awal berdirinya, yaitu sebagai pusat ibadah (ubudiyah), pusat pendidikan (tarbiyah), dan pusat sosial kemasyarakatan (ijtima’iyah). Dengan demikian, masjid ini sekaligus menjadi saksi perjalanan panjang masyarakat Sidrap dalam menjaga Islam sebagai identitas sekaligus jalan hidup.

 

Jejak Syekh Bojo di Allakuang juga mengingatkan kita bahwa penyebaran Islam di Sulawesi Selatan bukanlah proses instan. Perlu perpaduan antara dakwah ulama, kebijakan politik kerajaan, dan kearifan tokoh lokal untuk membuat Islam diterima dengan baik. Syekh Bojo, bersama Addatuang Sidenreng dan Nene’ Mallomo, menunjukkan bahwa keberhasilan dakwah terletak pada kemampuan menyesuaikan Islam dengan nilai-nilai kearifan lokal. Inilah yang menjadikan dakwah Islam di Sidrap berlangsung damai dan penuh penghormatan terhadap tradisi.

 

Selain berfungsi sebagai situs sejarah, Masjid Tua Jerrae dan makam Syekh Bojo juga menjadi destinasi wisata religi. Banyak peziarah datang untuk berdoa, menziarahi makam, dan menikmati keindahan arsitektur masjid yang penuh makna simbolik. Pemerintah daerah maupun tokoh masyarakat Sidrap pun berusaha menjaga dan merawat situs ini agar tetap lestari. Wisata religi ini pada gilirannya juga memberi dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat sekitar, seperti munculnya pedagang kecil dan pengelolaan kawasan wisata berbasis tradisi Islam.

 

Syekh Bojo menjadi contoh bagaimana ulama dapat menjadi penghubung antara nilai agama dan budaya. Beliau tidak hanya mengajarkan syariat Islam, tetapi juga menghormati kearifan lokal Bugis, sehingga Islam diterima sebagai agama yang sejalan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Peran ini membuat Islam di Sidrap berkembang dengan wajah ramah, inklusif, dan adaptif. Model dakwah yang mengintegrasikan agama dan budaya inilah yang masih relevan hingga kini, terutama dalam membangun moderasi beragama.

 

Warisan Syekh Bojo juga memperlihatkan bagaimana ulama dapat meninggalkan jejak yang melampaui generasi. Masjid Tua Jerrae dan makamnya tidak hanya menjadi situs keagamaan, tetapi juga ruang edukasi dan refleksi sejarah. Anak-anak muda dapat belajar bahwa Islam datang ke Sulawesi Selatan melalui proses dakwah yang bijak, penuh toleransi, dan menghargai tradisi. Ini menjadi pelajaran penting dalam menghadapi tantangan modernitas yang sering kali memunculkan benturan antara agama dan budaya.

 

Dalam perspektif sejarah Islam lokal, sosok Syekh Bojo dapat disejajarkan dengan ulama-ulama penyebar Islam di berbagai wilayah Nusantara, seperti Sunan Ampel di Jawa atau Datuk Ri Bandang di Makassar. Mereka semua menggunakan pendekatan sufistik, akomodatif, dan persuasif, sehingga Islam bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Perbandingan ini menunjukkan bahwa Islam di Nusantara berkembang melalui strategi dakwah yang serupa: membumikan nilai-nilai Islam ke dalam budaya setempat.

 

Kini, tugas generasi penerus adalah menjaga dan melestarikan warisan yang telah ditinggalkan oleh Syekh Bojo. Situs bersejarah seperti Masjid Tua Jerrae harus tetap dirawat, bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai bagian dari identitas kolektif masyarakat Sidrap. Lebih jauh lagi, semangat dakwah damai dan kearifan dalam menyebarkan Islam perlu dijadikan inspirasi untuk menjawab tantangan kehidupan beragama di era global.

 

Dengan demikian, jejak Syekh Bojo di Allakuang Sidrap adalah warisan besar yang harus terus dipelihara. Ia bukan hanya tokoh spiritual, tetapi juga simbol integrasi agama dan budaya. Masjid Tua Jerrae dan makamnya adalah saksi bisu dari perjalanan panjang Islamisasi di Sulawesi Selatan. Kehadiran Syekh Bojo mengajarkan bahwa Islam dapat tumbuh subur ketika ia dihidupi dengan kebijaksanaan, toleransi, dan penghormatan terhadap tradisi lokal. Warisan ini akan terus hidup selama masyarakat Sidrap menjadikannya sebagai bagian dari identitas, spiritualitas, dan peradaban mereka.

 

Zaenuddin Endy

Founder Komunitas Pecinta Indonesia, Nusantara dan Ulama (KOPINU)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *