Kenaikan PBB-P2 di Kabupaten Bone: Antara Penerimaan Fiskal dan Keadilan Publik

Riska Prasasti Alumni Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta
banner 468x60

Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Bone hingga rata-rata 65% telah memicu gelombang protes luas dari kalangan mahasiswa, aktivis, hingga masyarakat umum. Bahkan, beberapa pihak mengklaim kenaikan mencapai 300%, meski data resmi Bapenda Bone menegaskan bahwa angka tersebut lebih sebagai mispersepsi publik ketimbang fakta hukum dan fiskal. Kendati demikian, gelombang resistensi yang muncul bukanlah reaksi emosional semata, melainkan cerminan ketidakpuasan mendalam terhadap cara kebijakan fiskal ini diputuskan dan disosialisasikan.

 

Di tengah kondisi ekonomi yang masih rapuh pasca-pandemi serta tingginya tekanan inflasi kebutuhan pokok, beban fiskal yang melonjak tentu menambah kesulitan masyarakat. Bagi keluarga berpenghasilan rendah, kenaikan pajak bukan hanya soal angka di lembar tagihan, tetapi ancaman langsung terhadap daya beli, stabilitas rumah tangga, dan bahkan rasa keadilan. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah kebijakan ini benar-benar adil dan berpihak pada rakyat, atau sekadar strategi menambah penerimaan kas daerah?

 

Kebijakan fiskal ini memiliki payung hukum yang kuat. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), pemerintah daerah diwajibkan memperbarui produk hukum terkait pajak dan retribusi daerah paling lambat awal 2024. Menindaklanjuti hal ini, Pemerintah Kabupaten Bone menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disertai Peraturan Bupati Bone No. 11 Tahun 2024 yang mengatur teknis penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) serta mekanisme penyesuaiannya.

 

Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 85 Tahun 2024 memberi panduan teknis terkait rentang penetapan dasar pengenaan pajak, yaitu antara 20%–100% dari NJOP. Ketentuan ini dibuat agar pemerintah daerah tetap fleksibel menyesuaikan nilai pajak, sekaligus mencegah lonjakan ekstrem yang memberatkan masyarakat. Dengan kata lain, secara regulatif, langkah Pemkab Bone berada dalam kerangka hukum yang sah. Namun, persoalan sesungguhnya bukan sekadar soal legalitas, melainkan legitimasi sosial.

 

Berdasarkan data resmi Bapenda Bone, penyesuaian PBB-P2 rata-rata sebesar 65% berlaku pada sekitar 75% wajib pajak, sementara 25% sisanya tidak mengalami kenaikan sama sekali. Misalnya, sebuah tagihan yang sebelumnya bernilai Rp1.100.000 kini menjadi Rp1.500.000, atau naik sekitar 36%–40%.

Meski angka ini jauh dari klaim kenaikan hingga 300%, fakta di lapangan menunjukkan banyak warga terkejut karena kurangnya sosialisasi dan keterbukaan mekanisme perhitungan. Beberapa masyarakat mendapati tagihan yang melonjak drastis tanpa penjelasan memadai, sehingga wajar jika menimbulkan keresahan. Apalagi, di sejumlah kawasan, NJOP lama sudah 14 tahun tidak diperbarui, dengan nilai serendah Rp7.000 per meter, jauh di bawah harga pasar saat ini. Penyesuaian memang diperlukan agar pajak lebih adil dan rasional, namun cara penyampaiannya yang kaku membuat publik merasa terzalimi.

 

Secara ekonomi, kenaikan PBB-P2 memang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang dibutuhkan untuk membiayai pembangunan. Infrastruktur jalan, jembatan, drainase, maupun pelayanan publik tentu memerlukan dana besar, dan pajak adalah instrumen utama untuk itu.

 

Namun, peningkatan penerimaan daerah seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan kemampuan bayar masyarakat. Dalam teori perpajakan, terdapat tiga prinsip utama yang harus dijunjung:

1. Keadilan (Equity): Pajak harus dibayar proporsional sesuai kepemilikan dan kemampuan.

2. Kepastian (Certainty): Mekanisme penghitungan harus jelas, transparan, dan konsisten.

3. Kemampuan Bayar (Ability to Pay): Rakyat tidak boleh dibebani melebihi daya tahannya.

Jika kenaikan pajak menekan konsumsi rumah tangga, maka pertumbuhan ekonomi lokal justru akan terganggu. Sebab daya beli masyarakat adalah motor perputaran ekonomi. Beban fiskal yang tidak proporsional bisa memicu kontraksi pada sektor lain, terutama UMKM, perdagangan, dan konsumsi barang pokok.

 

Kenaikan PBB-P2 di Bone tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan politik. Demonstrasi mahasiswa dan gelombang protes warga menjadi bukti nyata adanya krisis kepercayaan. Masyarakat merasa pemerintah daerah lebih fokus mengejar penerimaan fiskal ketimbang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.

 

Dalam perspektif politik, kebijakan fiskal yang tidak komunikatif dapat merusak legitimasi pemerintah daerah. Rakyat yang merasa dibebani tanpa diberikan ruang partisipasi akan membangun stigma bahwa pemerintah lebih berpihak pada angka pendapatan daripada nasib warganya. Krisis kepercayaan ini berbahaya karena dapat memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat, bahkan berujung pada instabilitas sosial di tingkat lokal.

 

Kebijakan fiskal tidak bisa dilepaskan dari dinamika pembangunan, tetapi cara mengelola dan mengkomunikasikannya adalah kunci utama. Beberapa langkah yang lebih bijak dan partisipatif antara lain:

1. Penyesuaian Bertahap

Alih-alih menaikkan sekaligus, kenaikan bisa dilakukan secara bertahap dalam kurun 2–3 tahun agar masyarakat lebih siap secara finansial.

2. Sosialisasi Transparan

Pemerintah wajib menjelaskan dasar perhitungan NJOP, perbandingan dengan harga pasar, serta manfaat konkret dari pajak yang dibayarkan.

3. Tarif Progresif

Penerapan tarif berbeda untuk kelas masyarakat: tarif rendah untuk rakyat kecil, lebih tinggi untuk pemilik lahan besar atau properti komersial.

4. Kompensasi untuk Rentan

Pemerintah bisa memberikan insentif atau keringanan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, misalnya potongan pajak atau skema subsidi silang.

5. Penguatan Akuntabilitas

Hasil penerimaan pajak harus tampak nyata, misalnya dalam bentuk peningkatan kualitas jalan, kesehatan, atau pendidikan. Transparansi hasil ini akan membangun kepercayaan publik.

 

“Pajak memang nadi pembangunan, namun tanpa keadilan, ia hanya menjadi beban yang menjauhkan pemerintah dari rakyatnya”

 

Riska Prasasti

Alumni Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *