Jejak KH. Daeng Beta Lompobattang: Ulama Kharismatik Bulukumba, Pengasuh Dakwah Tarekat di Kaki Gunung

Zaenuddin Endy Founder Komunitas Pecinta Indonesia dan NUsantara (KOPI-NU) 
banner 468x60

KH. Daeng Beta Lompobattang adalah salah satu ulama sepuh yang hidup sezaman dengan KH. Mustari Tiro, dikenal luas di wilayah Bulukumba, khususnya di kawasan pegunungan Lompobattang dan sekitarnya. Masyarakat mengenalnya sebagai sosok ulama kharismatik yang menekuni ilmu-ilmu keislaman tradisional, terutama dalam bidang tasawuf dan tarekat. Namanya lekat dengan komunitas dakwah pedesaan yang kuat memegang tradisi zikir, pengajian kitab kuning, dan ajaran akhlak yang bersumber dari warisan ulama Bugis-Makassar.

 

KH. Daeng Beta lahir sekitar awal abad ke-20 di sebuah kampung kaki Gunung Lompobattang, wilayah Bulukumba bagian barat yang dikenal kuat memegang tradisi keagamaan dan adat istiadat lokal. Ia tumbuh di lingkungan yang sangat kental dengan ajaran keagamaan berbasis surau, masjid, dan komunitas tarekat lokal. Lingkungan masa kecilnya membentuk karakter keberagamaannya yang kuat, bersahaja, dan dekat dengan masyarakat akar rumput.

 

Sejak muda, KH. Daeng Beta dikenal gemar belajar agama, khususnya kitab-kitab tasawuf dan akhlak. Ia belajar dari para ulama lokal Bugis-Makassar dan juga sempat berguru kepada beberapa tokoh tarekat di Sinjai dan Bantaeng. Jaringan intelektual dan spiritual ini menjadikan KH. Daeng Beta seorang ulama berbasis tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, yang kemudian menjadi ciri khas dakwahnya di pelosok Bulukumba.

 

Sebagai ulama kampung yang karismatik, KH. Daeng Beta banyak berperan membina masyarakat di sekitar pegunungan Lompobattang, sebuah wilayah yang kala itu relatif jauh dari pusat pemerintahan maupun pusat pendidikan formal. Ia mendirikan pengajian-pengajian tradisional (pengajian malam, barzanji, ratib, zikir akbar) yang rutin digelar di masjid atau rumah-rumah masyarakat. Selain menjadi rujukan keilmuan agama, ia juga dikenal sebagai tempat bertanya masyarakat soal urusan adat, perkawinan, waris, hingga problem kehidupan sehari-hari.

 

Dakwah KH. Daeng Beta sangat menekankan kesederhanaan, akhlak, adab, dan penguatan batin masyarakat. Ia percaya bahwa kekuatan Islam di pedesaan Bulukumba harus dijaga melalui tradisi spiritual yang kuat, seperti tarekat, zikir, dan majelis pengajian. Dalam pandangannya, tarekat bukan hanya jalan spiritual pribadi, tetapi juga sarana menguatkan ikatan sosial masyarakat agar tidak tercerabut dari akar budayanya. Ia juga dikenal sebagai sosok yang menjaga harmoni antara ajaran agama dan adat Bugis-Makassar, sehingga mudah diterima oleh masyarakat.

 

KH. Daeng Beta memiliki hubungan yang baik dengan KH. Mustari Tiro, meski peran keduanya berbeda secara wilayah. KH. Mustari Tiro lebih aktif dalam organisasi NU dan penguatan institusi keagamaan formal, sedangkan KH. Daeng Beta lebih fokus pada penguatan akar keagamaan masyarakat pedesaan berbasis tarekat dan tasawuf. Kendati demikian, keduanya memiliki pandangan yang sama dalam menjaga ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dan mencegah penyebaran paham-paham keagamaan yang ekstrem.

 

Nama KH. Daeng Beta kerap disebut dalam jaringan keulamaan pedesaan sebagai guru ruhani (mursyid batin) yang mengajarkan pentingnya ketekunan ibadah, dzikir, sabar, dan ridha kepada takdir Allah. Ia sering diundang dalam acara-acara maulid, haul, dan kegiatan keagamaan besar, tidak hanya di Bulukumba, tetapi juga sampai ke Sinjai, Jeneponto, bahkan Bantaeng.

 

KH. Daeng Beta wafat sekitar akhir 1970-an hingga awal 1980-an, dimakamkan di lereng pegunungan Lompobattang, di kampung halamannya yang kini sering diziarahi masyarakat sebagai bentuk penghormatan. Meski tidak meninggalkan banyak karya tertulis, warisan spiritualnya hidup melalui murid-murid, tarekat, dan tradisi pengajian yang terus berlanjut di pelosok-pelosok Bulukumba. Pengaruhnya masih terasa kuat, terutama dalam pola keberagamaan masyarakat yang ramah, damai, dan penuh kesantunan.

 

Jejak KH. Daeng Beta Lompobattang menegaskan betapa pentingnya peran ulama kampung dalam menjaga keislaman pedesaan yang berakar kuat pada tradisi tarekat, akhlak, dan adat. Meski namanya tidak banyak tercatat dalam buku sejarah besar, kontribusinya sangat dirasakan masyarakat, khususnya dalam menjaga stabilitas sosial dan keberagamaan yang bersahaja. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari mata rantai keulamaan Bulukumba yang terus memberi pengaruh hingga kini.

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Founder Komunitas Pecinta Indonesia dan NUsantara (KOPI-NU)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *