Syekh Maulana Abdul Jabbar, atau yang akrab dikenal dengan sebutan Puang Jabba, merupakan figur spiritual yang jejaknya menembus batas geografi dan waktu. Dari asal-usulnya sebagai bangsawan Kerajaan Pajang di Jawa hingga transformasinya menjadi ulama sufi yang berpengaruh di tanah Sulawesi Selatan, khususnya Bulukumba, sosok ini tidak hanya memiliki nilai historis, tetapi juga spiritual dan kultural yang lekat dengan semangat keislaman ala Nahdlatul Ulama (NU).
Syekh Maulana Abdul Jabbar diyakini sebagai keturunan Pangeran Benowo II dari Pajang, yang kemudian menjadi panglima perang melawan hegemoni VOC. Setelah kekalahan politik dan militer di Jawa pada awal abad ke-17, ia mengembara ke berbagai wilayah, termasuk Tuban dan Sulawesi, dan memilih jalan spiritual sebagai bentuk perlawanan kultural. Perjalanan ini menandai transformasi dirinya dari sosok militer ke tokoh tasawuf—sebuah karakter yang sangat identik dengan paradigma Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), pilar utama NU.
Di wilayah Bulukumba, Syekh Abdul Jabbar menetap di kawasan pesisir Lemo-Lemo. Di sana ia tidak hanya membangun tempat tinggal dan tempat ibadah, tetapi juga menyemai nilai-nilai Islam yang moderat, toleran, dan berbasis pada tarekat serta praktik keagamaan yang lekat dengan budaya lokal. Tradisi ini hidup dalam bentuk ziarah, surau peninggalannya, serta cerita lisan yang diwariskan turun-temurun. Semua ini merupakan cerminan nyata dari prinsip NU yang mengedepankan akulturasi budaya dengan nilai-nilai Islam.
Kegiatan ziarah ke makam Puang Jabba yang rutin dilakukan oleh para santri menjadi bagian dari praksis keagamaan khas NU. Dalam tradisi NU, ziarah bukan sekadar penghormatan terhadap ulama, tetapi juga bentuk penguatan spiritual dan penghargaan terhadap sanad keilmuan Islam yang autentik.
Meski Syekh Abdul Jabbar hidup jauh sebelum NU secara formal berdiri (1926), semangat dan metode dakwahnya selaras dengan nilai-nilai dasar NU. Tiga prinsip utama NU—tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang)—terwujud dalam pendekatan dakwah Puang Jabba. Ia tidak memaksakan ajaran Islam secara radikal, melainkan melalui pendekatan budaya, kearifan lokal, dan spiritualitas yang mengakar.
Lebih jauh, NU sebagai gerakan keagamaan dan sosial-budaya memiliki akar historis yang kuat dalam jaringan ulama tarekat dan sufi Nusantara. Syekh Maulana Abdul Jabbar berada dalam garis yang sama dengan tokoh-tokoh ulama awal yang menjadi inspirasi bagi para muassis NU, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Dengan kata lain, Puang Jabba bisa dikategorikan sebagai proto-NU atau tokoh pramodern yang nilai-nilainya kemudian diinstitusionalisasi oleh NU.
Hingga kini, situs makam Puang Jabba di Bulukumba menjadi tempat ziarah yang tak pernah sepi, terutama pada hari-hari besar Islam dan haul tahunan. Para peziarah tidak hanya berasal dari Sulawesi, tetapi juga dari Jawa, Kalimantan, bahkan Malaysia. Tradisi ini menjadi bukti bahwa warisan spiritual Syekh Abdul Jabbar tetap hidup dan berkelindan dengan struktur keagamaan NU di daerah tersebut.
Syekh Maulana Abdul Jabbar bukan sekadar sosok lokal dalam peta sejarah keislaman Sulawesi Selatan. Ia adalah figur yang menegaskan bahwa Islam bisa tumbuh harmonis dalam ruang budaya yang plural, melalui pendekatan tasawuf dan kearifan lokal. Dalam konteks Nahdlatul Ulama, beliau menjadi simbol kontinuitas spiritual dari perjuangan Islam yang rahmatan lil alamin—Islam yang membumi, bersahabat, dan mencerahkan.
Maka, mengenang dan melacak jejak Puang Jabba bukan hanya bagian dari romantisme masa lalu, melainkan bentuk nyata dari upaya memelihara akar-akar spiritualitas Islam Nusantara yang moderat, toleran, dan berakar kuat—sebagaimana diperjuangkan oleh NU sejak awal berdirinya hingga hari ini.
Oleh: Zaenuddin Endy
Founder Komunitas Pecinta Indonesia dan NUsantara (KOPI-NU)