Kiai, Pesantren, dan Perlawanan Kultural: Kontribusi NU Sulawesi Selatan dalam Merawat Keindonesiaan

Zaenuddin Endy Ketua Harian DPP Ikatan Alumni Pesantren Modern (IKAPM) Aljunaidiyah Bone
banner 468x60

Dalam sejarah panjang peradaban Indonesia, peran Nahdlatul Ulama (NU) tak pernah bisa dilepaskan dari kiprah pesantren dan para kiai sebagai aktor utama penjaga nilai-nilai kebangsaan. Di Sulawesi Selatan, wajah NU tampak nyata dalam denyut kehidupan kultural masyarakat Bugis-Makassar melalui pesantren-pesantren yang menjadi benteng pendidikan Islam dan benteng pertahanan budaya lokal. Para kiai tidak sekadar guru agama, tetapi pemimpin moral yang mampu membangun perlawanan terhadap segala bentuk radikalisme, sektarianisme, hingga politik identitas yang mengancam kohesi sosial bangsa.

 

Pesantren di Sulsel seperti DDI Mangkoso, Al Junaidiyah, As’adiyah Sengkang, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya berafiliasi pada tradisi NU baik secara struktur maupun kultural. Melalui kurikulum berbasis kitab kuning, pendekatan ahlussunnah wal jama’ah, dan kedekatan dengan nilai lokal, pesantren ini menjadi ruang aman bagi tumbuhnya Islam yang santun, toleran, dan inklusif. Para kiai di pesantren-pesantren tersebut memainkan peran ganda: sebagai pendidik ruhani dan penjaga nalar sehat masyarakat.

 

Kontribusi NU Sulawesi Selatan dalam merawat keindonesiaan tidak datang dari langit kekuasaan, tetapi dari akar rumput. Ketika arus globalisasi menawarkan identitas tunggal dan ideologi transnasional menyusup melalui media sosial dan kanal-kanal dakwah digital, NU tetap konsisten pada garis kulturalnya. Perlawanan yang dibangun bukan dalam bentuk kekerasan atau debat teologis keras, melainkan dalam wujud penguatan identitas lokal, pemihakan pada budaya, serta pendidikan karakter yang konsisten menanamkan nilai cinta tanah air.

 

Para kiai NU Sulsel secara historis juga memainkan peran strategis dalam fase-fase penting kebangsaan. Sejak zaman kolonial hingga reformasi, banyak kiai yang menjadi motor pergerakan sosial, memberikan panduan moral kepada masyarakat dan menjadi penengah dalam berbagai konflik. NU Sulsel tidak hanya merawat Islam, tetapi juga menghidupkan semangat keindonesiaan melalui pendekatan yang damai dan berkelanjutan.

 

Salah satu kekuatan utama NU di Sulsel adalah kemampuannya mengintegrasikan nilai-nilai kebangsaan dalam bingkai keagamaan. Konsep cinta tanah air (hubbul wathan minal iman) tidak hanya menjadi slogan, melainkan diimplementasikan melalui praktik pendidikan, ceramah keagamaan, dan kerja-kerja sosial. Upacara bendera, penghormatan terhadap lambang negara, serta keterlibatan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan menjadi bagian dari doktrin keagamaan NU yang hidup di tengah masyarakat Bugis-Makassar.

 

Namun demikian, tantangan yang dihadapi NU hari ini jauh lebih kompleks. Di era digital dan post-truth, suara moderat kerap tertinggal oleh narasi provokatif yang menjual sensasi dan polarisasi. Radikalisme digital, hoaks agama, dan pemanfaatan media sosial untuk kepentingan politik identitas menjadi ancaman serius. NU Sulsel harus memperkuat peran pesantren dan para kiai muda dalam mengisi ruang publik digital dengan narasi keislaman yang menyejukkan dan nasionalis.

 

Dalam menghadapi itu, NU tidak boleh hanya bertumpu pada kekuatan masa lalu. Ia harus bertransformasi tanpa meninggalkan akar. Pesantren harus terbuka pada teknologi, para santri harus dibekali literasi digital, dan para kiai muda harus tampil sebagai content creator keislaman yang mampu menyentuh generasi milenial dan Gen Z dengan bahasa yang segar namun tetap otentik.

 

NU Sulawesi Selatan telah membuktikan bahwa perlawanan tidak harus berarti perpecahan. Melalui pesantren dan para kiai, NU menawarkan model perlawanan kultural—sebuah cara halus namun kuat untuk menjaga Indonesia tetap plural, damai, dan bermartabat. Di tengah gempuran ideologi yang ingin merobek jalinan kebangsaan, NU berdiri sebagai benteng terakhir yang merawat jiwa bangsa melalui jalan pendidikan, budaya, dan keagamaan yang membumi.

 

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Ketua Harian DPP Ikatan Alumni Pesantren Modern (IKAPM) Aljunaidiyah Bone

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *