KH. Muhammad Nur: Ulama Sanad, Guru Umat, dan Warisan Keulamaan NU Sulawesi Selatan

banner 468x60

Di tengah dinamika keislaman Indonesia, nama KH. Muhammad Nur merupakan salah satu figur penting yang memberi warna kuat bagi perkembangan Islam moderat, khususnya di Sulawesi Selatan. Ia bukan hanya dikenal sebagai ulama kharismatik yang teguh memegang ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, tetapi juga sebagai pendidik, mursyid tarekat, dan penggerak dakwah yang meletakkan dasar kuat bagi wajah NU Sulsel hari ini.

 

Lahir di Desa Langkean, Kabupaten Maros, 7 Desember 1932, KH. Muhammad Nur menapaki jalan panjang pendidikan agama sejak usia muda. Pada 1947, beliau hijrah ke Mekkah dan menetap di sana selama lebih dari satu dekade. Di tanah suci inilah ia belajar langsung kepada para ulama besar Hijaz, seperti Hasan Al-Yamani, Muhammad Amin Al-Kutuby, Alwi Abbas Al-Maliki, Hasan Al-Masyath, dan Ali Al-Maghriby Al-Maliki. Ia menghafal 30 juz Al-Qur’an, mendalami ilmu hadits, tafsir, fikih, hingga tasawuf, sebelum kembali ke tanah air membawa sanad keilmuan yang kuat dan otoritatif.

 

Sepulang dari Mekkah, KH. Muhammad Nur memulai dakwah dan pengabdiannya melalui jalur pendidikan. Ia mendirikan Madrasah Dirasat Islamiyah wal-‘Arabiyah (MDIA Taqwa) yang menjadi pusat pendidikan Islam berbasis Ahlussunnah wal Jamaah di Sulsel. Tak hanya melahirkan santri, guru, dan ulama, madrasah ini juga membentuk karakter moderat yang sangat relevan bagi masyarakat multikultural Sulawesi Selatan.

 

Lebih dari sekadar pendidik, KH. Muhammad Nur juga dikenal sebagai mursyid tarekat Muktabaroh Muhammadiyah Sunusiyah yang sanadnya tersambung langsung ke Mekkah. Ia menjaga keseimbangan antara syariat, tarekat, dan hakikat, sebuah tradisi keilmuan yang diwariskan secara bersambung dari generasi ke generasi. Dakwahnya bukan sekadar soal ritual, tetapi membumikan akhlak, menjaga harmoni sosial, dan membimbing umat agar tidak terseret arus ekstremisme agama yang kerap mengancam tatanan hidup damai masyarakat.

 

Kiprah sosial KH. Muhammad Nur pun sangat luas. Ia pernah menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan pada masa awal Orde Baru, memimpin PWNU Sulsel sebagai Rais Syuriah selama beberapa periode, menjadi penasihat PKB, hingga duduk di MUI Sulsel. Melalui berbagai posisi ini, beliau memperkuat NU sebagai pilar penyangga Islam moderat di tanah Bugis-Makassar. Ia juga berperan dalam pengembangan STAI Al-Gazali, baik di Makassar maupun Bone, sebagai upaya membangun sistem pendidikan Islam yang modern tetapi tetap berakar pada tradisi.

 

Nama KH. Muhammad Nur tak hanya masyhur di Sulawesi Selatan. Pada 2010, Universiti Insaniah Kedah, Malaysia, menganugerahkan gelar Profesor dan Doktor Honoris Causa sebagai bentuk pengakuan atas kiprah beliau dalam dakwah, pendidikan, dan penguatan tarekat. Jaringan santrinya pun luas, dari masyarakat awam hingga intelektual dan pejabat negara. Dua di antaranya yang cukup dikenal secara nasional adalah Prof. Dr. Alwi Shihab dan Prof. Dr. Nasaruddin Umar. Jejak ini menunjukkan KH. Muhammad Nur bukan hanya figur lokal, tetapi bagian penting dari mata rantai keulamaan Nusantara.

 

Masyarakat Sulsel mengenalnya sebagai sosok yang bersahaja, penuh kasih, dan selalu menekankan pentingnya akhlak. Banyak yang meyakini beliau memiliki keistimewaan spiritual, namun karisma utamanya terletak pada keteguhan memegang sanad ilmu dan tarekat yang jelas. Hingga wafat pada 29 Juni 2011, bertepatan dengan malam Isra Mi’raj 27 Rajab 1432 H, KH. Muhammad Nur meninggalkan warisan besar: jaringan pendidikan, tarekat, dan kader-kader ulama yang terus menghidupkan ajaran Islam yang santun dan menyejukkan.

 

Hari ini, warisan beliau tidak sekadar nama. Pesantren, madrasah, tarekat, dan jejaring santri yang dibina terus menjadi pilar penting Islam moderat di Sulawesi Selatan. Tradisi keilmuan bersanad yang beliau tegakkan telah melahirkan generasi baru yang memahami betapa pentingnya mengintegrasikan ilmu, akhlak, dan spiritualitas dalam menghadapi tantangan zaman. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, nama KH. Muhammad Nur akan tetap hidup sebagai teladan bagaimana seorang ulama mampu menjaga tradisi, merangkul perubahan, dan membangun peradaban yang berakar kuat pada kearifan lokal dan kemuliaan akhlak.

 

 

Oleh: Zaenuddin Endy

Komunitas Pecinta Indonesia Nusantara (KOPI-NU)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *