Jejak KH. Mustari Tiro: Ulama Kharismatik, Pendiri NU Bulukumba, Pewaris Dakwah Datuk ri Tiro

Zaenuddin Endy Komunitas Pecinta Indonesia dan Nusantara (KOPINU) Sulawesi Selatan
banner 468x60

KH. Mustari Tiro lahir sekitar tahun 1900-an awal di kawasan Tiro, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia merupakan cucu langsung dari sosok legendaris penyebar Islam di Bulukumba, yaitu Datuk ri Tiro atau Syekh Abdul Jawad (nama lain Nurdin Ariyani), ulama besar dari Minangkabau yang pada awal abad ke-17 menyebarkan agama Islam melalui jalur dakwah sufistik yang santun dan kultural. Sejak kecil, KH. Mustari Tiro tumbuh dalam lingkungan keagamaan yang kuat, penuh dengan nilai-nilai spiritualitas dan akhlak tasawuf. Lingkungan keluarga dan masyarakat yang sangat menghormati tradisi keulamaan membuat dirinya tumbuh sebagai anak muda yang akrab dengan kitab-kitab klasik, khususnya dalam bidang fikih, tauhid, dan tasawuf.

 

Perjalanan hidup KH. Mustari Tiro sejak muda diwarnai oleh keterlibatan aktif dalam kegiatan keagamaan masyarakat. Ia dikenal luas sebagai sosok alim, bersahaja, dan menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai persoalan keagamaan, sosial, bahkan adat. Dalam masanya, ia dikenal sebagai ulama yang menjembatani antara warisan kultural Bugis-Makassar dengan nilai-nilai Islam yang inklusif. Ia sering menggelar pengajian, membina majelis taklim, serta aktif memberikan bimbingan kepada masyarakat, terutama di Tiro dan sekitarnya. Karakter dakwahnya yang santun, mengedepankan musyawarah, dan ramah terhadap budaya lokal menjadi kekuatan utama yang membuat pengaruhnya semakin meluas.

 

Pada tahun 1952, ketika Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi membentuk Cabang Bulukumba, KH. Mustari Tiro tampil sebagai salah satu tokoh penggerak utama. Pendirian NU Cabang Bulukumba ini menjadi bagian dari gelombang besar bangkitnya organisasi ulama tradisional di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan, setelah NU memisahkan diri dari Masyumi . KH. Mustari Tiro, bersama para ulama sepuh lain di Bulukumba, menjadikan NU sebagai kendaraan dakwah, sosial, dan pendidikan, sekaligus sebagai benteng akidah Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah di tengah masyarakat. NU di Bulukumba kemudian berkembang pesat, tidak hanya dalam kegiatan pengajian dan tarekat, tetapi juga mendirikan lembaga pendidikan Ma’arif NU serta aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

 

Sebagai ulama kharismatik, KH. Mustari Tiro banyak memberikan keteladanan dalam laku hidup yang sederhana, istiqamah dalam mengajarkan ilmu, serta sabar dalam menghadapi tantangan zaman. Ia dikenal sangat dekat dengan masyarakat bawah, sering hadir di tengah masyarakat dalam kegiatan keagamaan, adat, maupun sosial. Kepribadiannya yang rendah hati dan bersahaja membuatnya dihormati bukan hanya oleh kalangan pesantren, tetapi juga tokoh adat dan pemimpin pemerintahan lokal. Perannya dalam memperkuat identitas keislaman yang rahmatan lil alamin di Bulukumba sangat signifikan. Tidak berlebihan jika dikatakan, KH. Mustari Tiro adalah sosok yang menjembatani nilai-nilai dakwah klasik dari era Datuk ri Tiro menuju dinamika sosial-keagamaan modern melalui NU.

 

KH. Mustari Tiro juga dikenal sebagai pelanjut tradisi sufisme lokal yang dipadukan dengan dakwah sosial. Ia memperkuat tradisi pengajian tarekat, zikir, dan tahlilan sebagai bagian dari kekuatan spiritual masyarakat. Tradisi keagamaan yang dijaga KH. Mustari Tiro ini selaras dengan prinsip NU yang mengharmoniskan syariat, tarekat, dan akhlak. Ia pula yang mendorong lahirnya berbagai inisiatif pendidikan nonformal berbasis masjid dan langgar di pedesaan Bulukumba, yang hingga kini jejaknya masih bisa dilacak dalam kegiatan-kegiatan masyarakat NU di Bulukumba.

 

Dalam konteks politik keumatan, KH. Mustari Tiro juga berperan menjaga agar NU Bulukumba tetap berada di jalur perjuangan yang sesuai dengan prinsip keagamaan dan kenegarawanan. Ia menolak keterlibatan NU dalam konflik politik yang bersifat destruktif dan lebih menekankan NU sebagai kekuatan moral yang menjaga harmoni sosial. Sikapnya ini membuat NU Bulukumba dikenal relatif moderat dan tetap dihormati lintas golongan, baik agama, adat, maupun pemerintahan.

 

KH. Mustari Tiro wafat sekitar awal 1990-an . Ia dimakamkan di kawasan kompleks keluarga besar Tiro, dekat Masjid Nurul Hilal Dato ri Tiro, yang juga menjadi simbol sejarah Islam di Bulukumba. Wafatnya menandai berakhirnya satu generasi ulama yang menjadi jembatan antara dakwah klasik Datuk ri Tiro dengan gerakan modernisasi keagamaan ala NU. Namun warisan keilmuannya tetap hidup dan berpengaruh, khususnya bagi generasi ulama muda dan para santri yang meneruskan perjuangannya.

 

Jejak KH. Mustari Tiro dalam sejarah keulamaan Sulawesi Selatan tidak dapat dilepaskan dari peran spiritual dan kultural keluarganya yang telah mengakar selama berabad-abad. Keistiqamahannya dalam menjaga tradisi keislaman yang moderat, tasamuh, dan berorientasi kemaslahatan umat menjadi warisan penting yang tetap relevan hingga kini. Melalui NU Bulukumba, nilai-nilai yang diwariskannya terus hidup dan berkembang, menjadikan Bulukumba sebagai salah satu basis penting bagi dakwah Islam yang sejuk, inklusif, dan membumi.

 

 

Oleh:Zaenuddin Endy

Komunitas Pecinta Indonesia dan Nusantara (KOPINU) Sulawesi Selatan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *