KH. Muhammad Ramli merupakan salah satu tokoh sentral dalam sejarah perkembangan Nahdlatul Ulama (NU) di Sulawesi Selatan. Peranannya sebagai muassis dan penggerak awal organisasi Islam tradisional ini menunjukkan pentingnya kontribusi lokal dalam memperkuat jaringan keulamaan dan dakwah Aswaja di kawasan timur Indonesia. Jejak perjuangannya tidak hanya tercatat dalam lembar sejarah organisasi, tetapi juga hidup dalam ingatan kolektif umat yang merasakan manfaat dari dakwah, pendidikan, dan keteladanannya.
Lahir pada tahun 1906 di Watampone, Bone, KH. Muhammad Ramli tumbuh dalam keluarga yang religius. Ayahnya, H. Masalah, dan ibunya, Hj. Aminah, dikenal sebagai sosok yang memegang teguh nilai-nilai agama. Sejak kecil, Ramli sudah menunjukkan kecintaan yang besar terhadap ilmu agama. Pendidikan dasarnya diperoleh dari para ulama lokal Bone, termasuk KH Abdul Rasyid dan KH Abdul Hamid, dua figur penting yang kelak menjadi gurunya dalam ilmu fiqih dan tafsir.
Semangat menuntut ilmu membawa KH. Muhammad Ramli merantau ke Mekkah. Di Tanah Suci, ia mendalami ilmu agama secara intensif selama tiga tahun, berguru kepada para masyayikh yang memiliki sanad keilmuan bersambung hingga Rasulullah. Di sana pula, ia memperkuat pemahamannya terhadap mazhab Syafi’i, tasawuf, dan ilmu alat, serta mengokohkan keyakinan akan pentingnya menjaga warisan keagamaan tradisional di tengah arus modernisasi keislaman.
Sekembalinya ke tanah air, KH. Muhammad Ramli tidak langsung menetap di Bone, melainkan menjalani tugas dakwah sebagai imam dan qāḍī di Luwu. Kiprah ini memperluas pengaruhnya di wilayah-wilayah pesisir dan pegunungan Sulawesi Selatan. Ia dikenal sebagai ulama yang tegas namun lembut, dekat dengan masyarakat, dan mampu menjembatani persoalan antara adat lokal dengan norma-norma syariah. Keberadaannya di Luwu menjadi modal awal bagi NU untuk memperluas basis pengaruhnya di luar pusat kota.
Kepulangan KH. Muhammad Ramli ke Bone menandai fase baru dalam perjuangan dakwahnya. Ia mulai membina jaringan ulama, mendirikan majelis taklim, dan memperkuat pengajaran agama di surau dan masjid. Dalam konteks ini, ia mulai membangun hubungan dengan tokoh-tokoh kunci seperti KH. Ahmad Bone, KH. Syaifuddin, dan sejumlah ulama lainnya yang kelak menjadi tulang punggung NU di Sulawesi Selatan. Pertemuan mereka tidak hanya bersifat silaturahmi keilmuan, tetapi juga menjadi forum konsolidasi dakwah.
Tahun 1950 menjadi momentum bersejarah ketika KH. Muhammad Ramli bersama sejumlah ulama menerima mandat dari KH. Wahid Hasyim untuk mengorganisir dan mendirikan cabang NU di Sulawesi Selatan. Mandat tersebut menjadi bukti kepercayaan ulama nasional kepada kapasitas dan integritas ulama lokal. Dengan semangat juang dan modal keilmuan yang kuat, KH. Muhammad Ramli melaksanakan amanah itu dengan penuh dedikasi, meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dari dalam dan luar komunitas.
Peran KH. Muhammad Ramli dalam proses pendirian NU di Sulsel tidak bisa dilepaskan dari kemampuannya membangun kepercayaan dan menyatukan berbagai kalangan. Ia menggalang dukungan dari pesantren, tokoh adat, hingga pemerintah lokal untuk mengakui NU sebagai organisasi keagamaan yang sah dan bermanfaat bagi masyarakat. Pendekatannya yang dialogis dan bersahaja menjadikan dakwah NU diterima luas di masyarakat Bugis yang menjunjung tinggi nilai-nilai siri’ dan pacce.
KH. Muhammad Ramli juga dikenal sebagai pendidik. Ia mendirikan sejumlah lembaga pendidikan Islam berbasis madrasah dan pengajian malam yang terbuka untuk semua kalangan. Di sana, ia mengajarkan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga etika sosial, semangat kebangsaan, dan prinsip-prinsip hidup bersih dan jujur. Lembaga-lembaga inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya kader-kader NU yang berilmu dan berakhlak mulia.
Di tengah dinamika politik dan sosial yang kompleks pada masa itu, KH. Muhammad Ramli tetap teguh menjaga independensi dakwahnya. Ia tidak terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik praktis, namun senantiasa mengingatkan umat agar tidak menjauh dari nilai-nilai Islam dan tanggung jawab kebangsaan. Sikap ini menjadikannya sebagai tokoh yang disegani oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk kalangan birokrasi dan militer.
Jejak perjuangan KH. Muhammad Ramli juga tampak dalam perannya sebagai perumus konsep dakwah NU berbasis kultural. Ia menekankan pentingnya menghargai adat dan budaya lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Dalam pengajiannya, ia kerap mengutip kisah-kisah leluhur Bugis dan membingkainya dengan nilai-nilai spiritual. Pendekatan ini terbukti efektif dalam menumbuhkan kesadaran keagamaan yang organik dan membumi.
Salah satu warisan penting dari KH. Muhammad Ramli adalah manuskrip-manuskrip keagamaan dalam bahasa Bugis dan Arab-Melayu. Ia menulis tafsir pendek, risalah fiqih, dan catatan-catatan khutbah yang masih disalin dan diajarkan oleh murid-muridnya hingga kini. Melalui tulisan-tulisannya, ia mentransmisikan nilai-nilai Aswaja secara konsisten kepada generasi penerus, sekaligus menjaga kesinambungan tradisi intelektual Islam lokal.
Hingga akhir hayatnya, KH. Muhammad Ramli tetap aktif dalam pengembangan NU di Sulawesi Selatan. Ia menjadi rujukan dalam banyak persoalan keagamaan, baik di tingkat lokal maupun regional. Kehadirannya dalam forum-forum ulama, musyawarah keagamaan, hingga pertemuan adat, selalu dinantikan karena pandangannya yang bijak dan solutif. Ia dihormati tidak hanya karena ilmunya, tetapi juga karena akhlaknya yang luhur.
Setelah wafatnya, KH. Muhammad Ramli dikenang sebagai muassis yang tidak hanya meletakkan dasar struktural NU, tetapi juga ruh perjuangan yang bersandar pada keikhlasan dan pengabdian. Para murid dan penerusnya bersepakat bahwa warisan terbesar beliau bukan hanya lembaga atau organisasi, tetapi semangat dakwah yang teduh, inklusif, dan berakar pada realitas masyarakat.
Kini, ketika NU di Sulawesi Selatan telah berkembang dengan ribuan penggerak, lembaga pendidikan, dan struktur organisasi yang mapan, nama KH. Muhammad Ramli tetap menjadi inspirasi. Ia adalah contoh nyata bahwa gerakan keagamaan yang besar selalu lahir dari keikhlasan ulama yang dekat dengan umat dan setia pada prinsip.
Menelusuri jejak KH. Muhammad Ramli adalah menyusuri awal mula denyut NU di kawasan timur Indonesia. Ia telah meletakkan fondasi yang kokoh bagi tumbuhnya Islam yang damai, toleran, dan bersinergi dengan nilai-nilai lokal. Perjuangannya menjadi pelita yang menuntun generasi penerus untuk tetap menjaga marwah dan misi besar NU sebagai penebar rahmat bagi seluruh alam.
Dalam sejarah panjang NU Sulawesi Selatan, KH. Muhammad Ramli tidak akan pernah dilupakan. Namanya tertulis dalam catatan sejarah, tetapi lebih dari itu, tertanam dalam hati umat yang merindukan figur ulama yang bijak, sabar, dan berani mengambil risiko demi kemaslahatan bersama. Semoga keteladanannya terus hidup dalam langkah-langkah dakwah ke depan.
Oleh: Zaenuddin Endy
Koordinator Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nusantara (PKPNU) Sulawesi Selatan