Dalam Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Kopri) PKC Sulawesi Selatan yang di gelar Aula LAN RI Makassar.
Bukan hanya soal angka kekerasan atau pasal-pasal perda. Dalam sesi pemaparan materi pada FGD Partisipatif Penyusunan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak menghadirkan tiga narasumber yang menekankan satu hal penting perlindungan harus manusiawi, dan itu hanya bisa lahir dari kerja sama lintas sektor.
Hj. Andi Mirna selaku Kepala Dinas P3AP2KB Provinsi Sulawesi Selatan, Hj. Andi Mirna, membuka mata peserta dengan data keras kasus kekerasan perempuan dan anak masih tinggi selama 2019–2024, sementara dispensasi nikah untuk anak terus terjadi. Namun persoalannya bukan hanya pada regulasi, tapi juga lemahnya layanan perlindungan.
“Rumah aman belum merata, SDM terlatih masih kurang, anggaran terbatas. Anak dan perempuan bukan lagi objek pembangunan—mereka subjek. Kita harus hadir untuk mereka,” katanya. Mirna menekankan bahwa regulasi baru tak hanya menata pasal, tapi menata sistem layanan agar lebih layak dan ramah korban.
Andi Nirawati selaku Anggota DPRD Provinsi Sulsel, Menurutnya, perda yang kuat bukan yang hanya indah secara hukum, tapi yang berpihak pada korban.
“Kita sering lupa prinsip partisipatif dan responsif gender. Padahal regulasi harus mendengar suara korban, penyintas, komunitas akar rumput. Tanpa itu perda bisa jadi simbolik,” ujarnya. Nirawati mengajak peserta untuk tidak hanya memikirkan pasal-pasal, tapi juga strategi advokasi: naskah akademik yang kuat, kampanye publik, lobbying, hingga sinergi dengan semua aktor penting.
Arif Maulana selaku Akademisi dan Ahli Hukum Tata Negara memberikan perspektif mendalam tentang fondasi hukum perda. Ia mengingatkan bahwa perda bukan hanya janji politik, tapi kontrak sosial yang mengikat semua pihak.
“Kalau ingin perda yang berdampak, prosesnya harus jelas: dari Propemperda, naskah akademik, pembahasan, hingga pengundangan. Kita perlu memastikan regulasi ini lahir dari riset, partisipasi, dan niat melindungi,” kata Arif.
Ia juga mengingatkan bahwa rancangan perda harus berpijak pada prinsip otonomi daerah, tetapi sinkron dengan aturan nasional. “Jangan sampai perda dibuat tergesa dan akhirnya tumpang tindih atau tidak bisa dijalankan,” tambahnya.
Menuju Sinergi Nyata Ketiganya menegaskan bahwa menata sistem perlindungan perempuan dan anak tak bisa dilakukan sendiri. Perlu keterlibatan pemerintah, DPRD, akademisi, organisasi masyarakat sipil, tokoh agama, dan masyarakat umum.
Dengan menghadirkan tiga narasumber berbeda latar, FGD KOPRI Sulsel hari itu berhasil membangun suasana reflektif: mendengarkan realitas layanan, memahami strategi legislasi, dan menegaskan pentingnya dasar hukum yang kokoh. Semua demi satu tujuan—mewujudkan Sulawesi Selatan yang lebih aman dan adil bagi perempuan dan anak.