Legislator Demokrat Tolak Pertambangan Emas di Sinjai, Soroti Dampak Lingkungan

banner 468x60

SINJAI — Penolakan terhadap aktivitas pertambangan emas di Kabupaten Sinjai kembali disuarakan, kali ini datang dari Anggota DPRD Kabupaten Sinjai dari Fraksi Demokrat, Andi Azjimawangsah.

Ia menegaskan penolakannya terhadap keberadaan tambang emas yang dikelola oleh PT Trinusa Resources, yang telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak tahun 2013 hingga 2033.

“Saya sebagai warga yang berdomisili di wilayah pesisir merasa trauma dengan kejadian-kejadian bencana seperti banjir bandang dan tanah longsor. Belum lagi dampaknya terhadap infrastruktur jalan yang bisa cepat rusak,” tegas Andi Azjimawangsah, Kamis (19/6/2025).

Menurutnya, pertambangan emas tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga dapat merugikan masyarakat sekitar dalam jangka panjang.

“Ayo kita sama-sama pikirkan dampak lingkungan di kemudian hari. Jangan sampai tujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru hanya menguntungkan investor, sementara rakyat harus menanggung kerusakannya,” tambahnya.

Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Dr. Rukmana, M.Si, dosen dan peneliti lingkungan dari Universitas Negeri Makassar. Ia menjelaskan bahwa tambang emas seringkali membawa risiko besar terhadap keseimbangan ekosistem jika tidak diawasi secara ketat.

“Aktivitas pertambangan emas, terutama di daerah dengan kontur rawan longsor seperti Sinjai, bisa mempercepat degradasi lingkungan. Risiko pencemaran air, hilangnya hutan lindung, hingga konflik sosial kerap kali muncul,” jelas Dr. Rukmana.

Ia menyarankan agar pemerintah daerah mengedepankan kajian lingkungan yang mendalam dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Berdasarkan data yang diperoleh, PT Trinusa Resources diketahui mengelola lahan seluas 11.326 hektare yang tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Borong, Sinjai Barat, dan Bulupoddo.

Sementara itu, pakar lingkungan nasional, Prof. Dr. Bambang Setiawan, M.Env.Sc., dari Universitas Gadjah Mada, juga menyoroti maraknya izin tambang yang tidak dibarengi dengan perlindungan lingkungan yang memadai.

“Di Indonesia, banyak izin tambang yang diberikan tanpa kajian dampak lingkungan yang ketat. Jika dibiarkan, ini akan memperparah krisis ekologis di masa depan,” kata Prof. Bambang.

Ia juga menegaskan pentingnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan terkait tambang agar pembangunan tidak bersifat eksploitatif dan merusak ruang hidup masyarakat lokal.

Dasar hukum yang menjadi rujukan dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia diatur dalam beberapa regulasi utama, di antaranya:

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

2. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

3. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Regulasi tersebut menegaskan bahwa setiap kegiatan pertambangan harus dilengkapi dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan hidup.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *